Lendang Nangka adalah salah satu desa wisata potensial yang terletak di Pulau Lombok, tepatnya di kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Perpaduan antara wisata alam, sosial, religi, dan kultur menciptakan sebuah harmoni yang tidak terlupakan. So, Let's Join Us to Enjoy Lendang Nangka Village, The Harmony Of Lombok.
PERESEAN, OLAH RAGA LAKI – LAKI SASAK
Comments Off
Kebudayaan dapat dijadikan sebagai tolok ukur kepribadian dan kebiasaan rakyat setempat atau suatu daerah. Begitu juga peresean yang merupakan permainan adat Lombok. Peresean adalah pertarungan antara dua orang yang bersenjatakan alat pemukul (sebilah tongkat) dari rotan (penjalin) dengan tameng dari bahan kulit sapi/kerbau. Peresean juga bagian dari upacara adat di pulau Lombok dan termasuk dalam seni tarian suku sasak. Seni peresean ini menunjukkan keberanian dan ketangkasan seorang petarung (pepadu), kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja dimasa lampau ketika mendapat kemenangan dalam perang tanding melawan musuh-musuh kerajaan, disamping itu para pepadu pada peresean ini mereka menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan dalam bertanding.Para orang tua pada jaman dulu menghajatkan peresean ini untuk meminta hujan. Darah para pepadu yang jatuh ke tanah dikatakan simbol akan terkabulkannya permohonan turunnya hujan. Peresean sendiri dikatakan telah ada sejak ratusan tahun silam yang muncul pada zaman kerajaan Lombok. Dulunya, para petinggi kerajaan menggelar peresean untuk menarik orang datang ke kerajaan.
Dua orang pria bersarung menggunakan ikat kepala, tanpa menggunakan baju telah siap di medan pertempuran. Para pria yang akan bertanding ini disebut pepadu. Masing-masing pepadu/pemain yang akan bertanding membawa sebuah perisai (ende) dengan alat pemukul yang terbuat dari sebilah rotan, dalam pertanding ini dipimpin oleh seorang wasit (pekembar). Wasit ini ada dua macam, yakni wasit pinggir dan wasit tengah. Wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan pemain dari penonton yang akan bertarung, sedangkan wasit tengah (pekembar tengaq) yang akan memimpin pertandingan. Pada umumnya para pepadu yang bertarung oleh pekembar mempunyai awiq-awiq dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan, masing-masing pasangan bertarung selama lima ronde, yang akhir ronde / tarungan tersebut ditandai dengan suara pluit yang ditiup oleh pekembar tengaq (yang memimpin pertandingan). Aturan yang dipakai adalah pemain tidak boleh memukul badan bagian bawah (kaki/paha) tetapi hanya diperbolehkan memukul tubuh bagian atas (kepala, pundak, punggung). Skor akan sangat tinggi jika salah satu pepadu bisa memukul kepala lawan, apalagi kepala lawan sampe bocor. Para pemain saling mencari kelemahan lawan. Kena sabetan penjalin hingga lecet memang sudah menjadi konsekuensi. Jangankan hanya lecet, para pepadu juga harus siap mengalami bocor di kepalanya. Karena bocor tidaknya lawan merupakan penentu kemenangan. Dan memang terbukti, begitu kegiatan ini digelar masyarakat yang merasa memiliki kekuatan lebih menunjukkan kebolehannya menjadi pepadu. Ternyata, menjadi pepadu juga tidak bisa sembarangan. Karena seseorang harus memiliki spiritual tinggi untuk mendapatkan ilmu kebal melalui pertapaan, serta harus memiliki budi pekerti tinggi. Meskipun nampaknya permainan ini agak kasar, tetapi dari permainan ini tercermin sportivitas yang melekat pada jiwa masyarakat sasak.Selain tongkat pemukul dari rotan dan perisai (ende) yang digunakan oleh masing-masing pepadu, juga ada musik pengiring yang akan memberikan semangat kedua petarung sekaligus sebagai pengiring kedua petarung untuk menari. Menari, dilakukan pada saat jeda istirahat sejenak sebelum melanjutkan pertarungan sekalian sebagai ajang adu gertakan (psywar) bagi lawan. Setelah pertarungan sengit wasit biasanya menghentikan sejenak pertarungan kemudian kedua petarung menari sambil mempelajari lagi kekuatan lawan. Alat-alat musik yang digunakan sebagai pengiring terdiri dari gong, sepasang kendang, rincik/simbal, kajar serta suling
Pada awalnya perisaian dilakukan hanya untuk menguji kemampuan ilmu seseorang yang dalam prakteknya menggunakan pedang. Sesuai dengan perkembangan zaman maka perisaian dalam permainannya memakai rotan yang ujungnya diberi campuran aspal dan pecahan beling yang ditumbuk halus disebut penjalin. Alat yang menangkis, menepis atau melindungi diri dari pukulan penjalin disebut ende. Ende terbuat dari kulit sapi atau kerbau. Pakaian pemain dilengkapi sapuq (penutup kepala) dan kain panjang.
Seiring perkembangan zaman, peresean dijadikan sebagai permainan rakyat yang lebih identik dengan olah raga laki-laki. Sebab olahraga satu ini betul-betul menuntut sportifitas pemain. Maksudnya, mengalami luka sabetan sampai bocor sekalipun tidak bisa menyulut dendam antar pemain. Bahkan sampai saat ini belum ada peresean yang menyebabkan keributan antar kelompok masyarakat.
Perisaian pada zaman dahulu dilaksanakan setelah selesai panen di malam hari saat bulan purnama. Perisaian dilakukan oleh dua orang laki – laki yang diadu oleh pengembar dan seorang juri yang akan memberikan nilai. Seorang pemain dinyatakan kalah apabila sudah keluar darah dari kepala yang disebut bocor atau dinyatakan kalah oleh juri.
CULTURE AND ART
Category:
CULTURE AND ART